Oleh : Syarif Amien[1]
Pendar-pendar
cahaya dalam ruang dengan nuansa akrab diskusi ilmiah menaungi ruangan ini,
sementara pedang dan mesiu masih bertebaran di sebrang sana dengan jumlah
korban yang kian memilukan. Disini, di negeri ini kita masih bisa bersenda
gurau dan asyik-ma’syuk berdiskusi ilmiah penuh gairah, disana, “dinegeri antah
berantah” pedang, tembakan dan bom mesiu masih terus menebar tanpa ada jera
hingga darah mengalir lelah. Gerakan radikalisme, ekstrimisme, teorisme dan
segala isme kekejaman lainnya belum jera dan kerapkali mengusik keberagaman dan
keberagamaan kita.
Peradaban
Islam (Akan Kembali) Bangkit di Indonesia
Indonesia dengan
kekayaan yang lebih dari cukup untuk memberi kebutuhan masyarakatnya yang
merupakan Negara dengan jumlah warga yang banyak, tetapi, kekayaan tersebut
tidak akan cukup bagi oknum yang korup. Dalam pada itu, refleksi religiusitas
secara akademis di Indonesia tumbuh dengan subur, secara geografis, diantara
Negara ASEAN, kaum intelektual Indonesia mewarnai gelantika pemikiran di Negara
lain. Pluralitas pemikiran keagamaan dan refleksi-ekspresif keberagamaan umat
islam di Indonesia tidak bisa dinafikan. NU, Muhammadiyah, Persis, al Irsyad
dan ormas sosial-agama lainnya -begitu akrab secara general- di berbagai
pelosok tanah air, bahkan, kerukunan antar umat beragama tidak jarang ditemukan
diberbagai daerah. Pemuka agama (baca:Ulama) sangat menyadari pluralitas ini.
Islam sebagai
Agama yang selalu relevan dengan setiap waktu dan segenap sudut tempat. Islam
adalah agama dengan penuh kasih sayang. Islam merupaka agama samawi yang
senantiasa mengedepankan nilai-nilai luhur kemanusiaan (Syariat Basyariyyah). Islam datang ke pulau Nusantara dengan begitu
ramah-tamah. Tidak berbenturan dengan budaya kearifan lokal. Gus Dur pernah
bertanya sebagai sindiran kepada bangsa Indonesia terkait hal ini. “kita itu
sebetulnya orang indonesia yang kebetulan beragama Islam atau orang Islam yang
kebetulan tinggal di Indonesia?”. Dalam gramatika bahasa arab, pertanyaan
tersebut merupakan “istifham taqriry”[2].
Islam Indonesia bukanlah copy-paste
Islam Arab atau Mesir. Bukan Islam Turki atau Afrika.
Geliat pemikiran
akademis yang begitu dinamis ditambah kerukunan umat pluralitas internal dan
pluralitas eksternal umat islam begitu kentara di Indonesia menjadikan
Indonesia begitu menarik sekaligus unik, hal lain yang menjadikan Indonesia
begitu mengasyikan adalah kondisi psiko-sosial masyarakat yang “open” kepada
“the other”. Hal ini berbeda dengan kondisi timur tengah yang Beragama islam
namun penuh konflik.
Alur narasi
tersebut (setelah berdiskusi dengan banyak pihak) menjadikan saya berkeyakinan
Indonesia akan menjadi poros kiblat umat Islam dunia. Hal ini tidak mustahil
mengingat tema muktamar NU kemaren menjadi isu global dunia, ‘islam nusantara’.
Tetapi, hal ini tidak berjalan mulus secara abracadabra, salah satu
tantangannya adalah radikalisme, Ekstrimisme, terorisme dan segala bentuk
kekerasan lainnya atau merka yang menyebut gerakannya sebagai gerakan dakwah
salafi.
Melacak
Akar Genealogi Gerakan Salafy : Telaah Historis
Bermula dari
perang salib, perang yang berkecamuk pada abad tengah tersebut berlangsung
bertahun-tahun dengan strategi, jumlah pasukan, budgeting yang tidak sembarangan.
Perang yang menyebabkan dunia barat menanggung beban yang teramat berat,
terutama bagi bangsa Aria yang mempunyai strata gengsi tinggi. Hal ini
menimbulkan dendam kesumat yang teramat sangat bagi ‘barat’. Maka kemudian.
Untuk merealisasikan dendam tersebut, ‘barat’ membentuk tim untuk mencari tau
sumber kekuatan umat islam[3].
Tim ini yang dikemudian hari dikenal Orientalis[4].
Tim pencari
fakta tersebut kemudian mempelajari islam dengan begitu giat dan gairah yang
kuat. Sehingga kemudian melaporkan hasilnya dalam bentuk narasi, sebagai
berikut
a. Kekuatan
umat islam bersumber dari kekuatan spiritual dan keyakinan bahwa mati syahid
adalah pintu gerbang menuju ridho Allah
b. Kekuatan
dzikir untuk memohon kekuatan dan perlindungan kepada Allah swt
c. Sebelum
berangkat berperang, umat islam berziarah kepada Rasulullah, Syuhada atau para
Wali
d. Untuk
memompa dan memelihara kekuatan umat islam, maka Salahuddin membaca manaqib
rasulullah dan para sahabat[5]
Point penting
tersebut mendapat tanggapan serius dari ‘barat’ sehingga pada peperangan
episode selanjutnya, pasukan barat membawa salib keramat untuk memompa semangat
pasukan. Namun, realita tidak sesuai ekspektasi, pasukan barat tetap terpukul
mundur, kalah. Bahkan salib yang dikeramatkan tersebut dibakar[6]. Orientalis
kemudian merekomendasikan hal lain untuk membalas dendam kesumatnya, yaitu
dengan cara menjauhkan umat islam dari dasar-dasar keyakinan beragamanya. Hal
ini kemudian diamini oleh Raja Friedrick dengan melakukan langkah-langkah 1)
minta bantuan umat yahudi[7]
dan 2) mencari orang islam yang dibayar dengan apapun.
Untuk
menjalankan langkah pertama tidaklah susah karena pada saat itu, yahudi sedang
mencari dukungan para pemimpin eropa untuk mewujudkan cita-citanya kembali ke
palestina, yang tidak di izinkan oleh Sultan Abdul Hamid II dari kekhalifahan
Turki Utsmani. Hingga suatu saat, untuk menjalankan langkah yang kedua, seorang
kapten angkatan perang the british army
sekaligus Arkeolog dari Inggris bernama Thomas Adward Larence, sebagai
Arkeolog, Lawrence bisa berkelana kemanapun, tujuan yang hendak dilangkahkan
adalah Kota Suci Arab, titik sentrum, sumber keramat Umat Islam. Sebelum
menginjakkan kaki di kota suci tersebut, Lawrence singgah di Kuwait dan
menjalin kemitraan dengan keluarga besar Assabah melanjutkan tugas Hempher yang
dipersiapkan inggris untuk menjadi kakinya di Timur Tengah.
Sementara itu,
wilayah Hijaz yang dalam penguasaan Gubernur Mesir Ali Basya, mendapat tugas
dari Sultan Abdul Hamid II untuk meredam pemberontakan kelompok badui yang
dipimpin Ibnu Su’ud hingga Ibnu Su’ud terdesak dan menjalani kehidupan dengan
miskin papa dan terhina. Ibnu Su’ud meminta bantuan keluarga assabah dan
kemudian dikenalkan dengan Lawrence. Darisinilah koalisi gerakan puritanisme
berawal.
Ibnu Su’ud
berambisi untuk menguasai Hijaz, Lawrence memiliki misi mencari orang islam
yang siap dibayar untuk “menggerogoti” islam dari dalam. Kerjasama kemitraan
terjalin. Ibnu Su’ud menyodorkan kitab karya mertuanya, Muhammad Ibn Abdul
Wahab, sebagai media propaganda. Lawrence meminta persetujuan atasannya,
jendral Allenby yang berkedudukan di Mesir, ia pun menyutujuinya. Lalu,
terjadilah apa yang terjadi. Wilayah hijaz berubah menjadi Arab Su’udy yang
kemudian menjadi Arab Saudi dengan madzhab resmi Wahabi[8].
Semenjak itu,
berbagai halaqoh ilmiah ala sunni mendapat perlakuan destruktif, sejarah
mencatat, untuk memuluskan langkahnya menjadikan Wahabi sebagai madzhab resmi
Negara, kurang lebih 300 ulama mengalami inskuisisi secara massif. Hal ini
mengingatkan kita akan kekejaman tentara mongol ketika melululantahkan dinasti
Abbasiyah, juga ketika Spanyol mengalami degradasi sinar keislaman hingga
kemudian hengkang dari Bumi Andalus tersebut.
Counter-Akademic
Terhadap Gerakan Wahabi
Muhammad ibn
Abdul Wahab, yang merupakan the founding
father madzhab wahabi pernah berguru pada Syekh Muhammad Hayat Sindi, Syekh
Sulaiman Kurdi dan ulama besar lainnya. Namun, pemikirannya yang liar tak
terkendali membuatnya tidak mengakui madzhab melainkan mendirikan madzhab
sendiri. Terlebih lagi, Syekh Sulaiman ibn Abdul Wahab yng merupakan saudara kandungnya
menulis kitab yang berjudul Ashshowaiqul
Ilahiyah fi Radd ala al Wahaby, sebagai counter terhadap apa yang diajarkan
saudaranya yang ‘keblinger’. Dalam pada itu, ulama Nusantara, Syekh Faqih dari
Maskumambang, gresik menulis kitab yang bernas untuk mencounter gerakan Wahabi,
dengan judul “Annushush al Islamiyah fi
Radd ala al Wahabiyyah”. Yang paling kontemporer, Sayyid al Muhaddis, Syekh
Muhammad Alwy al Maliki, menulis kitab yang cukup menyita perhatian kalangan
pesantren, berjudul “Mafahim Yajibu An
Tushohhah”. Disamping itu, terdapat juga Kitab Syawahidul Haq karya Al-Allamah Al-Adib Al-Wali Abul Mahasin
Yusuf Bin Ismail Bin Yusuf An-Nabhani (1265-1350 H). ulama yang sangat alim
Lahir di palestina belajar pada ulama palestina lalu melanjutkan studi di Al
Azhar dan menjadi Qodli di Beirut Lebanon, ada juga Kitab Khulasotul Kalam dan kitab Durorussaniyah karya Mufti
Syafi’iyah di Mekkah al Mukarromah Syeh Ahmad Zaini Dahlan dilahirkan di Mekkah
dan wafat di Madinah Al Munawwaroh.
Syekh Dr Sa’id Ramadhan al Buthy menulis satu kitab khusus
yang mengcounter Wahabi, secara spesifik ditujukan kepada Syekh Al Albani
(seorang ulama hadis, menurut Wahabi), berjudul ALla madzhabiyyah hiwa Akhtaru bid’ah, dengan makna “tidak
bermadzhab adalah perkara paling bid’ah”, kitab tersebut sudah di terjemahkan
kedalam bahasa Indonesia dengan judul “menamoar propaganda kembali pada Al
Quran dan Hadits. Kitab ini pula yang menjadi salah satu alasan Wahabi untuk
membinasakan Dr Said Al Buthy dengan cara bom bunuh diri ketika Dr Said
memberikan pengajian tafsir rutin di masjid tahun 2013. Dr Sa’id pun lantas
wafat, syahid di Mihrab indah.
Secara nalar akademis-intelektual, telah banyak kitab yang
mengupas dan menelanjangi ajaran dan ideology gerakan Wahabi, namun, fenomena
Wahabi bukan hanya wilayah teoritis-ilmiah, melainkan juga wilayah
ekomoni-politik dan sosial. Gerakan Wahabi telah menanamkan benih-benih di
Indonesia dengan beragam metode, seperti melalui radio, internet, media massa,
penerbit buku hingga melalui instantsi pendidikan. Segala lini gerak kehidupan
modern dirambah dan dijamah oleh gerakan wahabi. Hal ini tidak mengherankan
lantaran gerakan wahabi di danai secara massif oleh Arab Saudi. Begitu
mengejutkan ketika kitab karya ulama sunni pun tak luput dari upaya penyemaian
Wahabi[9].
Pesantren : Kawah Candradimuka Islam
Ramah
Pondok pesantren, sebagaimana statement Cak Nur, merupakan
lembaga pendidikan yang Indigenous,
dalam arti, lembaga pendidikan produk asli Nusantara. Lebih jauh, Cak Nur
berpendapat, andaikan Indonesia tidak mengalami masa penjajahan, niscaya tidak
aka nada Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas lainnya,
melainkan yang ada adalah Universitas Jombang, Universitas Buntet Pesantren,
Universitas Lirboyo dan pengembangan dari lembaga pendidikan Pesantren. Manarul
Hidayat[10],
berpendapat bahwa pesantren adalah solusi alternative pendidikan Indonesia dengan catatan melalui management yang
kontekstual.
Konsep ta’dzim kepada Guru, konsep Barokah dan konsep
kesederhanaan yang didasari oleh lelaku tirakat a la tasawuf menjadikan santri sebagai generasi haamilul ilmi yang arif dan bijaksana. Sikap
laku lampah santri, unggah ungguh
yang lugu dan polos menjadikan santri rendah hati, namun berani menyuarakan
kebenaran. Akhlakul karimah inilah yang menjadikan landasan intelektual santri
bagaikan cahaya lentera yang menerangi ditengah gelap gulita.
Pemahaman santri terhadap ilmu agama yang komprehensif dan
kontekstual menjadikan sikap ilmiah santri mampu up to date dalam berbagai
kondisi. Mulai dari cabang ilmu nahwu hingga ilmu tasawuf. Pemahaman yang
komprehensif dan kontekstual menjadi urgen saat ini ditengah kondisi
religiusitas wilayah kota yang kerap menyuguhkan parody agama sebagai ceremony an sich. Dalam beberapa hal, konsep fiqh
harus senantiasa dinamis dan up to date dan kekinian. Hal ini seirama dengan
kaidah fiqh “perubahan hukum dan perbedaannya mengikuti perubahan situasi,
kondisi, niat dan tradisi”[11].
Beberapa konsep muamalah, seharusnya menjadi ide-inspirasi untuk mengembangkan
dunia ekonomi islam, bukan untuk klaim ilmiah ketika dunia barat menemukan
konsep yang memukau, kita dengan gagap dan keburu-buru menyatakan bahwa
sebetulnya hal tersebut telah ada dalam syariat islam. Tidak hanya ajang debat
kusir dalam forum bergengsi. Melainkan fiqh harus menjadi solusi dari
problematika di masyarakat, hal ini yang senantiasa di gelorakan oleh KH Sahal
Mahfudz, dengan “Fiqh Sosial”nya[12].
Takbiratul Ihram, menggunakan lafadz Allahu Akbar, biasa diterjemahkan Allah maha besar. dalam
terminology ilmu gramatika bahasa Arab, lafadz “akbaru” merupakan bentuk dari
shighat mubalaghoh, yaitu wazan yang menunjukkan makna sangat, maha, sesuatu
yang lebih dan lain sebagainya[13].
Ini berarti bahwa ‘Allah lebih Besar’, dari apa? Dari segala sesuatu termasuk
yang kita bayangkan. Ini sejalan dengan dawuh
Imam al Qusyaeri yang mengatakan “wa kullu maa tashowwaro fi khoyaalika fa
Allahu bikhilaafi dzalika” artinya, segala sesuatu yang engkau prasangka dan
engkau duga terkait Allah, ternyata Allah tidak begitu”[14].
ini menyadarkan dan membangunkan setiap muslim yang hendak sholat bahwasanya ia
sedang menghadap ‘sang hyang agung’, dzat Tuhan yang maha segalanya. Dari sini,
maka muncul sifat rendah hati dan segala keindahan akhlak hati yang lainnya.
Sampai disini, saya sendiri, merasa bahwa sudah
saatnya bangsa Indonesia kembali ke dalam wadah arus dunia sufi, sehingga
Indonesia tidak tercerabut dari akar budaya bangsa yang telah berpuluh-puluh
ribu tahun lalu digagas oleh para wali sanga. Dan pesantren, tempat saya
berpijak. Perlu menyadarkan diri untuk tidak terlalu sibuk dengan gaya berfikir
eksoterik (fiqh-ushulfiqh) seraya mengacuhkan dunia tasawuf (aspek esoteris).
Tasawuf tidak
serta merta menjadikan diri menyendiri dalam ruang sendu rindu pada Tuhan
dengan mengesampingkan aspek sosio-kultural, tasawuf memberikan surplus
intrinsic dalam jiwa secara psikis sehingga “meringankan beban” dari segala hal
yang berkorelasi dengan selain Allah. Hal ini menjadikan tasawuf senantiasa
dinamis dan sufi adalah “anak zaman”[15],
manusia kontekstual yang mengerti dan biijaksana terhadap masyarakat serta
segenap problematika yang melingkupinya[16].
Dari sinilah, pesantren merupakan jawaban dari beberapa jawaban yang
dinantikan.
So What ?!
Indonesia adalah Negara besar, Negara dengan jumlah penduduk
mayoritass muslim terbesar di dunia, kuantitas ini merupakan sesuatu yang
potensial, ditambah dengan beberapa decade ke depan, Indonesia mengalami bonus
demografi. Beberapa “anugerah” tersebut perlu mendapat perhatian yang serius
dari berbagai kalangan, lantaran tantangan yang dihadapi sangat besar.
Wahabi hanyalah salah satu dari beragam tantangan yang
dihadapi, masih banyak tantangan-tantangan lain yang menunggu untuk
diselesaikan. QS al Insyirah mengingatkan kita, “ketika engkau selesai, maka kerjakan yang lainnya”.
dan bukankah hidup adalah tantangan itu sendiri ?
tabik !
Wa Allahu A’lam Bi Showwab.........
Mengenang
hari pahlawan.
Islam
Indonesia-NU
Subang,
November, 2017
[1] Wakil Direktur Panatagama
Islamic School Subang, alumni Pondok Buntet Pesantren.
[2] Suatu bentuk pertanyaan yang
menegaskan suatu pernyataan.
[3] Tim ini dibentuk oleh Ratu Issabela dibantu oleh Raja Friedrick.
[4] Seperti Ignaz Goldziher,
Vander Vlas, Snouck Hourgounhe dan lain sebagainya.
[5] Dalam versi ini, perayaan
mauled nabi pertama kali di adakan pada masa Salahudin al Ayyubi, namun, versi
yang lain, seperti dalm kitab I’anatutholibin ada versi yang menyatakan bahwa
yang pertama kali merayakan mauled nabi adalah raja Abdul malik al Mudzoffar,
seorang penguasa Moushul, Irak. Baca
I’anatutholibin Syarah fathul Mu’in.
[6] Ini yang menjadikan
peperangan ini terkenal dengan sebutan perang salib.
[7] Karena telah menjadi masyhur
perseteruan kaum Yahudi dan Umat islam sebagaimana QS al Baqarah 99.
[8] Narasi cerita ini dikutip
secara ringkas dari BUku “Pembaruan Islam
: Tajdid, Ungkapan Cinta Atau Mutilasi Ajaran Islam” karya Wari Maulana.
Wari menulis dari berbagai sumber sejarah. Disebutkan juga, dari koalisi inilah kemudian,
banyak intervensi asing di berbagai perusahaan Arab Saudi. Maka tidak heran,
jika ajaran-ajaran Wahaby banyak yang secara substantive menjauhkan pemeluknya
dari agama islam, dari Allah dan Rasulullah.
[9] Salah satu buku yang cukup
representative untuk menggambarkan bahwa Wahabi mulai mentahrif kitab-kitab ulama sunni adalah buku karya Syekh idahram yang
diberi kata pengantar oleh KH Said aqiel Siradj, berjudul “mereka memalsukan
kitab ulama salaf”. Mayoritas yang dijadikan obyek tahrif Wahabi adalah kitab-kitab yang membahas akidah. Tak jarang
pula kitab tasawuf.
[10] Alumni Pondok Buntet
Pesantren, seorang ulama-muballigh Jakarta.
[11] Imam Ibnul Qayyim, I’lamul
Muwaqi’in, juz 3
[12] Tulisan kyai Sahal yang membahas metode Fiqh-sosial menjadi
“sambutan” pada buku hasil muktamar NU dan juga pada buku “epistemologi
fiqh-sosial kyai sahal” (kumpulan tulisan dari kalangan yang concern dan
meneruskan pemikiran Kyai Sahal)
[13] Untuk lebih rinci
pembahassan shighat mubalaghoh, bisa dibaca di kitab Amtsilatutashrif atau yang
lebih detail di kitab Syarah Ibnu Aqil.
[14] Risalah al Qusyaeriyah, Imam
al Qusyaeri. Lihat juga buku teologi
negative, karya Muhammad al Fayyadh. Hal ini pula yang menjadikan alasan orang
Yahudi lebih memilih diam ketika menyebut Tuhan. Sehingga pandangan tentang
Tuhan tidak rigid, melainkan fleksibel.
[15] Lebih jauh, imam Al Qusyaeri
mengatakan “shufi huwa ibnu waqtihi, laa
launa lahu, launuhu launu inaa’ihi”, sufi adalah anak zaman, tak ada warna,
warnanya adalah sama dengan warna wadahnya”. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya
sufi adalah pribadi dinamis, tak terkungkung oleh dinding dalam dzikir, tak
tersentuh oleh dinamika sosial-masyarakat., melainkan insan yang “the legend of change”.
[16] Lebih lengkap, baca
Disertasi KH Said Aqil, judul “Shilatullah
fi al kaun inda tashawuf al falsafi”, Kang Said menjelaskan panjang lebar
terkait zuhud secara spesifik, dengan eksplorasi yang kontekstual.