Minggu, 12 November 2017

ISLAM INDONESIA DALAM BIDIKAN “SALAFY”


Oleh : Syarif Amien[1]
Pendar-pendar cahaya dalam ruang dengan nuansa akrab diskusi ilmiah menaungi ruangan ini, sementara pedang dan mesiu masih bertebaran di sebrang sana dengan jumlah korban yang kian memilukan. Disini, di negeri ini kita masih bisa bersenda gurau dan asyik-ma’syuk berdiskusi ilmiah penuh gairah, disana, “dinegeri antah berantah” pedang, tembakan dan bom mesiu masih terus menebar tanpa ada jera hingga darah mengalir lelah. Gerakan radikalisme, ekstrimisme, teorisme dan segala isme kekejaman lainnya belum jera dan kerapkali mengusik keberagaman dan keberagamaan kita.
Peradaban Islam (Akan Kembali) Bangkit di Indonesia
Indonesia dengan kekayaan yang lebih dari cukup untuk memberi kebutuhan masyarakatnya yang merupakan Negara dengan jumlah warga yang banyak, tetapi, kekayaan tersebut tidak akan cukup bagi oknum yang korup. Dalam pada itu, refleksi religiusitas secara akademis di Indonesia tumbuh dengan subur, secara geografis, diantara Negara ASEAN, kaum intelektual Indonesia mewarnai gelantika pemikiran di Negara lain. Pluralitas pemikiran keagamaan dan refleksi-ekspresif keberagamaan umat islam di Indonesia tidak bisa dinafikan. NU, Muhammadiyah, Persis, al Irsyad dan ormas sosial-agama lainnya -begitu akrab secara general- di berbagai pelosok tanah air, bahkan, kerukunan antar umat beragama tidak jarang ditemukan diberbagai daerah. Pemuka agama (baca:Ulama) sangat menyadari pluralitas ini.
Islam sebagai Agama yang selalu relevan dengan setiap waktu dan segenap sudut tempat. Islam adalah agama dengan penuh kasih sayang. Islam merupaka agama samawi yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai luhur kemanusiaan (Syariat Basyariyyah). Islam datang ke pulau Nusantara dengan begitu ramah-tamah. Tidak berbenturan dengan budaya kearifan lokal. Gus Dur pernah bertanya sebagai sindiran kepada bangsa Indonesia terkait hal ini. “kita itu sebetulnya orang indonesia yang kebetulan beragama Islam atau orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia?”. Dalam gramatika bahasa arab, pertanyaan tersebut merupakan “istifham taqriry[2]. Islam Indonesia bukanlah copy-paste Islam Arab atau Mesir. Bukan Islam Turki atau Afrika.
Geliat pemikiran akademis yang begitu dinamis ditambah kerukunan umat pluralitas internal dan pluralitas eksternal umat islam begitu kentara di Indonesia menjadikan Indonesia begitu menarik sekaligus unik, hal lain yang menjadikan Indonesia begitu mengasyikan adalah kondisi psiko-sosial masyarakat yang “open” kepada “the other”. Hal ini berbeda dengan kondisi timur tengah yang Beragama islam namun penuh konflik.
Alur narasi tersebut (setelah berdiskusi dengan banyak pihak) menjadikan saya berkeyakinan Indonesia akan menjadi poros kiblat umat Islam dunia. Hal ini tidak mustahil mengingat tema muktamar NU kemaren menjadi isu global dunia, ‘islam nusantara’. Tetapi, hal ini tidak berjalan mulus secara abracadabra, salah satu tantangannya adalah radikalisme, Ekstrimisme, terorisme dan segala bentuk kekerasan lainnya atau merka yang menyebut gerakannya sebagai gerakan dakwah salafi.
Melacak Akar Genealogi Gerakan Salafy : Telaah Historis
Bermula dari perang salib, perang yang berkecamuk pada abad tengah tersebut berlangsung bertahun-tahun dengan strategi, jumlah pasukan, budgeting yang tidak sembarangan. Perang yang menyebabkan dunia barat menanggung beban yang teramat berat, terutama bagi bangsa Aria yang mempunyai strata gengsi tinggi. Hal ini menimbulkan dendam kesumat yang teramat sangat bagi ‘barat’. Maka kemudian. Untuk merealisasikan dendam tersebut, ‘barat’ membentuk tim untuk mencari tau sumber kekuatan umat islam[3]. Tim ini yang dikemudian hari dikenal Orientalis[4].
Tim pencari fakta tersebut kemudian mempelajari islam dengan begitu giat dan gairah yang kuat. Sehingga kemudian melaporkan hasilnya dalam bentuk narasi, sebagai berikut
a.       Kekuatan umat islam bersumber dari kekuatan spiritual dan keyakinan bahwa mati syahid adalah pintu gerbang menuju ridho Allah
b.      Kekuatan dzikir untuk memohon kekuatan dan perlindungan kepada Allah swt
c.       Sebelum berangkat berperang, umat islam berziarah kepada Rasulullah, Syuhada atau para Wali
d.      Untuk memompa dan memelihara kekuatan umat islam, maka Salahuddin membaca manaqib rasulullah dan para sahabat[5]
Point penting tersebut mendapat tanggapan serius dari ‘barat’ sehingga pada peperangan episode selanjutnya, pasukan barat membawa salib keramat untuk memompa semangat pasukan. Namun, realita tidak sesuai ekspektasi, pasukan barat tetap terpukul mundur, kalah. Bahkan salib yang dikeramatkan tersebut dibakar[6]. Orientalis kemudian merekomendasikan hal lain untuk membalas dendam kesumatnya, yaitu dengan cara menjauhkan umat islam dari dasar-dasar keyakinan beragamanya. Hal ini kemudian diamini oleh Raja Friedrick dengan melakukan langkah-langkah 1) minta bantuan umat yahudi[7] dan 2) mencari orang islam yang dibayar dengan apapun.
Untuk menjalankan langkah pertama tidaklah susah karena pada saat itu, yahudi sedang mencari dukungan para pemimpin eropa untuk mewujudkan cita-citanya kembali ke palestina, yang tidak di izinkan oleh Sultan Abdul Hamid II dari kekhalifahan Turki Utsmani. Hingga suatu saat, untuk menjalankan langkah yang kedua, seorang kapten angkatan perang the british army sekaligus Arkeolog dari Inggris bernama Thomas Adward Larence, sebagai Arkeolog, Lawrence bisa berkelana kemanapun, tujuan yang hendak dilangkahkan adalah Kota Suci Arab, titik sentrum, sumber keramat Umat Islam. Sebelum menginjakkan kaki di kota suci tersebut, Lawrence singgah di Kuwait dan menjalin kemitraan dengan keluarga besar Assabah melanjutkan tugas Hempher yang dipersiapkan inggris untuk menjadi kakinya di Timur Tengah.
Sementara itu, wilayah Hijaz yang dalam penguasaan Gubernur Mesir Ali Basya, mendapat tugas dari Sultan Abdul Hamid II untuk meredam pemberontakan kelompok badui yang dipimpin Ibnu Su’ud hingga Ibnu Su’ud terdesak dan menjalani kehidupan dengan miskin papa dan terhina. Ibnu Su’ud meminta bantuan keluarga assabah dan kemudian dikenalkan dengan Lawrence. Darisinilah koalisi gerakan puritanisme berawal.
Ibnu Su’ud berambisi untuk menguasai Hijaz, Lawrence memiliki misi mencari orang islam yang siap dibayar untuk “menggerogoti” islam dari dalam. Kerjasama kemitraan terjalin. Ibnu Su’ud menyodorkan kitab karya mertuanya, Muhammad Ibn Abdul Wahab, sebagai media propaganda. Lawrence meminta persetujuan atasannya, jendral Allenby yang berkedudukan di Mesir, ia pun menyutujuinya. Lalu, terjadilah apa yang terjadi. Wilayah hijaz berubah menjadi Arab Su’udy yang kemudian menjadi Arab Saudi dengan madzhab resmi Wahabi[8].
Semenjak itu, berbagai halaqoh ilmiah ala sunni mendapat perlakuan destruktif, sejarah mencatat, untuk memuluskan langkahnya menjadikan Wahabi sebagai madzhab resmi Negara, kurang lebih 300 ulama mengalami inskuisisi secara massif. Hal ini mengingatkan kita akan kekejaman tentara mongol ketika melululantahkan dinasti Abbasiyah, juga ketika Spanyol mengalami degradasi sinar keislaman hingga kemudian hengkang dari Bumi Andalus tersebut.
Counter-Akademic Terhadap Gerakan Wahabi
Muhammad ibn Abdul Wahab, yang merupakan the founding father madzhab wahabi pernah berguru pada Syekh Muhammad Hayat Sindi, Syekh Sulaiman Kurdi dan ulama besar lainnya. Namun, pemikirannya yang liar tak terkendali membuatnya tidak mengakui madzhab melainkan mendirikan madzhab sendiri. Terlebih lagi, Syekh Sulaiman ibn Abdul Wahab yng merupakan saudara kandungnya menulis kitab yang berjudul Ashshowaiqul Ilahiyah fi Radd ala al Wahaby, sebagai counter terhadap apa yang diajarkan saudaranya yang ‘keblinger’. Dalam pada itu, ulama Nusantara, Syekh Faqih dari Maskumambang, gresik menulis kitab yang bernas untuk mencounter gerakan Wahabi, dengan judul “Annushush al Islamiyah fi Radd ala al Wahabiyyah”. Yang paling kontemporer, Sayyid al Muhaddis, Syekh Muhammad Alwy al Maliki, menulis kitab yang cukup menyita perhatian kalangan pesantren, berjudul “Mafahim Yajibu An Tushohhah”. Disamping itu, terdapat juga Kitab Syawahidul Haq karya Al-Allamah Al-Adib Al-Wali Abul Mahasin Yusuf Bin Ismail Bin Yusuf An-Nabhani (1265-1350 H). ulama yang sangat alim Lahir di palestina belajar pada ulama palestina lalu melanjutkan studi di Al Azhar dan menjadi Qodli di Beirut Lebanon, ada juga Kitab Khulasotul Kalam dan kitab Durorussaniyah karya Mufti Syafi’iyah di Mekkah al Mukarromah Syeh Ahmad Zaini Dahlan dilahirkan di Mekkah dan wafat di Madinah Al Munawwaroh.
Syekh Dr Sa’id Ramadhan al Buthy menulis satu kitab khusus yang mengcounter Wahabi, secara spesifik ditujukan kepada Syekh Al Albani (seorang ulama hadis, menurut Wahabi), berjudul ALla madzhabiyyah hiwa Akhtaru bid’ah, dengan makna “tidak bermadzhab adalah perkara paling bid’ah”, kitab tersebut sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “menamoar propaganda kembali pada Al Quran dan Hadits. Kitab ini pula yang menjadi salah satu alasan Wahabi untuk membinasakan Dr Said Al Buthy dengan cara bom bunuh diri ketika Dr Said memberikan pengajian tafsir rutin di masjid tahun 2013. Dr Sa’id pun lantas wafat, syahid di Mihrab indah.
Secara nalar akademis-intelektual, telah banyak kitab yang mengupas dan menelanjangi ajaran dan ideology gerakan Wahabi, namun, fenomena Wahabi bukan hanya wilayah teoritis-ilmiah, melainkan juga wilayah ekomoni-politik dan sosial. Gerakan Wahabi telah menanamkan benih-benih di Indonesia dengan beragam metode, seperti melalui radio, internet, media massa, penerbit buku hingga melalui instantsi pendidikan. Segala lini gerak kehidupan modern dirambah dan dijamah oleh gerakan wahabi. Hal ini tidak mengherankan lantaran gerakan wahabi di danai secara massif oleh Arab Saudi. Begitu mengejutkan ketika kitab karya ulama sunni pun tak luput dari upaya penyemaian Wahabi[9].
Pesantren : Kawah Candradimuka Islam Ramah
Pondok pesantren, sebagaimana statement Cak Nur, merupakan lembaga pendidikan yang Indigenous, dalam arti, lembaga pendidikan produk asli Nusantara. Lebih jauh, Cak Nur berpendapat, andaikan Indonesia tidak mengalami masa penjajahan, niscaya tidak aka nada Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas lainnya, melainkan yang ada adalah Universitas Jombang, Universitas Buntet Pesantren, Universitas Lirboyo dan pengembangan dari lembaga pendidikan Pesantren. Manarul Hidayat[10], berpendapat bahwa pesantren adalah solusi alternative pendidikan Indonesia dengan catatan melalui management yang kontekstual.
Konsep ta’dzim kepada Guru, konsep Barokah dan konsep kesederhanaan yang didasari oleh lelaku tirakat a la tasawuf menjadikan santri sebagai generasi haamilul ilmi yang arif dan bijaksana. Sikap laku lampah santri, unggah ungguh yang lugu dan polos menjadikan santri rendah hati, namun berani menyuarakan kebenaran. Akhlakul karimah inilah yang menjadikan landasan intelektual santri bagaikan cahaya lentera yang menerangi ditengah gelap gulita.
Pemahaman santri terhadap ilmu agama yang komprehensif dan kontekstual menjadikan sikap ilmiah santri mampu up to date dalam berbagai kondisi. Mulai dari cabang ilmu nahwu hingga ilmu tasawuf. Pemahaman yang komprehensif dan kontekstual menjadi urgen saat ini ditengah kondisi religiusitas wilayah kota yang kerap menyuguhkan parody agama sebagai ceremony an sich. Dalam beberapa hal, konsep fiqh harus senantiasa dinamis dan up to date dan kekinian. Hal ini seirama dengan kaidah fiqh “perubahan hukum dan perbedaannya mengikuti perubahan situasi, kondisi, niat dan tradisi”[11]. Beberapa konsep muamalah, seharusnya menjadi ide-inspirasi untuk mengembangkan dunia ekonomi islam, bukan untuk klaim ilmiah ketika dunia barat menemukan konsep yang memukau, kita dengan gagap dan keburu-buru menyatakan bahwa sebetulnya hal tersebut telah ada dalam syariat islam. Tidak hanya ajang debat kusir dalam forum bergengsi. Melainkan fiqh harus menjadi solusi dari problematika di masyarakat, hal ini yang senantiasa di gelorakan oleh KH Sahal Mahfudz, dengan “Fiqh Sosial”nya[12].
Takbiratul Ihram, menggunakan lafadz Allahu Akbar, biasa diterjemahkan Allah maha besar. dalam terminology ilmu gramatika bahasa Arab, lafadz “akbaru” merupakan bentuk dari shighat mubalaghoh, yaitu wazan yang menunjukkan makna sangat, maha, sesuatu yang lebih dan lain sebagainya[13]. Ini berarti bahwa ‘Allah lebih Besar’, dari apa? Dari segala sesuatu termasuk yang kita bayangkan. Ini sejalan dengan dawuh Imam al Qusyaeri yang mengatakan “wa kullu maa tashowwaro fi khoyaalika fa Allahu bikhilaafi dzalika” artinya, segala sesuatu yang engkau prasangka dan engkau duga terkait Allah, ternyata Allah tidak begitu”[14]. ini menyadarkan dan membangunkan setiap muslim yang hendak sholat bahwasanya ia sedang menghadap ‘sang hyang agung’, dzat Tuhan yang maha segalanya. Dari sini, maka muncul sifat rendah hati dan segala keindahan akhlak hati yang lainnya. Sampai disini, saya sendiri, merasa bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia kembali ke dalam wadah arus dunia sufi, sehingga Indonesia tidak tercerabut dari akar budaya bangsa yang telah berpuluh-puluh ribu tahun lalu digagas oleh para wali sanga. Dan pesantren, tempat saya berpijak. Perlu menyadarkan diri untuk tidak terlalu sibuk dengan gaya berfikir eksoterik (fiqh-ushulfiqh) seraya mengacuhkan dunia tasawuf (aspek esoteris).
Tasawuf tidak serta merta menjadikan diri menyendiri dalam ruang sendu rindu pada Tuhan dengan mengesampingkan aspek sosio-kultural, tasawuf memberikan surplus intrinsic dalam jiwa secara psikis sehingga “meringankan beban” dari segala hal yang berkorelasi dengan selain Allah. Hal ini menjadikan tasawuf senantiasa dinamis dan sufi adalah “anak zaman[15], manusia kontekstual yang mengerti dan biijaksana terhadap masyarakat serta segenap problematika yang melingkupinya[16]. Dari sinilah, pesantren merupakan jawaban dari beberapa jawaban yang dinantikan.
So What ?!
Indonesia adalah Negara besar, Negara dengan jumlah penduduk mayoritass muslim terbesar di dunia, kuantitas ini merupakan sesuatu yang potensial, ditambah dengan beberapa decade ke depan, Indonesia mengalami bonus demografi. Beberapa “anugerah” tersebut perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai kalangan, lantaran tantangan yang dihadapi sangat besar.
Wahabi hanyalah salah satu dari beragam tantangan yang dihadapi, masih banyak tantangan-tantangan lain yang menunggu untuk diselesaikan. QS al Insyirah mengingatkan kita, “ketika engkau selesai, maka kerjakan yang lainnya”.
dan bukankah hidup adalah tantangan itu sendiri ?
tabik !
         Wa Allahu A’lam Bi Showwab.........


Mengenang hari pahlawan.
Islam Indonesia-NU
Subang, November, 2017




[1]  Wakil Direktur Panatagama Islamic School Subang, alumni Pondok Buntet Pesantren.
[2]  Suatu bentuk pertanyaan yang menegaskan suatu pernyataan.
[3] Tim ini dibentuk oleh Ratu Issabela dibantu oleh Raja Friedrick.
[4]  Seperti Ignaz Goldziher, Vander Vlas, Snouck Hourgounhe dan lain sebagainya.
[5]  Dalam versi ini, perayaan mauled nabi pertama kali di adakan pada masa Salahudin al Ayyubi, namun, versi yang lain, seperti dalm kitab I’anatutholibin ada versi yang menyatakan bahwa yang pertama kali merayakan mauled nabi adalah raja Abdul malik al Mudzoffar, seorang penguasa Moushul, Irak. Baca  I’anatutholibin Syarah fathul Mu’in.
[6]  Ini yang menjadikan peperangan ini terkenal dengan sebutan perang salib.
[7]  Karena telah menjadi masyhur perseteruan kaum Yahudi dan Umat islam sebagaimana QS al Baqarah 99.
[8]  Narasi cerita ini dikutip secara ringkas dari BUku “Pembaruan Islam : Tajdid, Ungkapan Cinta Atau Mutilasi Ajaran Islam” karya Wari Maulana. Wari menulis dari berbagai sumber sejarah.  Disebutkan juga, dari koalisi inilah kemudian, banyak intervensi asing di berbagai perusahaan Arab Saudi. Maka tidak heran, jika ajaran-ajaran Wahaby banyak yang secara substantive menjauhkan pemeluknya dari agama islam, dari Allah dan Rasulullah.
[9]  Salah satu buku yang cukup representative untuk menggambarkan bahwa Wahabi mulai mentahrif kitab-kitab ulama sunni adalah buku karya Syekh idahram yang diberi kata pengantar oleh KH Said aqiel Siradj, berjudul “mereka memalsukan kitab ulama salaf”. Mayoritas yang dijadikan obyek tahrif Wahabi adalah kitab-kitab yang membahas akidah. Tak jarang pula kitab tasawuf.
[10]  Alumni Pondok Buntet Pesantren, seorang ulama-muballigh Jakarta.
[11]  Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, juz 3
[12] Tulisan kyai Sahal yang membahas metode Fiqh-sosial menjadi “sambutan” pada buku hasil muktamar NU dan juga pada buku “epistemologi fiqh-sosial kyai sahal” (kumpulan tulisan dari kalangan yang concern dan meneruskan pemikiran Kyai Sahal)
[13]  Untuk lebih rinci pembahassan shighat mubalaghoh, bisa dibaca di kitab Amtsilatutashrif atau yang lebih detail di kitab Syarah Ibnu Aqil.
[14]  Risalah al Qusyaeriyah, Imam al Qusyaeri.  Lihat juga buku teologi negative, karya Muhammad al Fayyadh. Hal ini pula yang menjadikan alasan orang Yahudi lebih memilih diam ketika menyebut Tuhan. Sehingga pandangan tentang Tuhan tidak rigid, melainkan fleksibel.
[15]  Lebih jauh, imam Al Qusyaeri mengatakan “shufi huwa ibnu waqtihi, laa launa lahu, launuhu launu inaa’ihi”, sufi adalah anak zaman, tak ada warna, warnanya adalah sama dengan warna wadahnya”. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya sufi adalah pribadi dinamis, tak terkungkung oleh dinding dalam dzikir, tak tersentuh oleh dinamika sosial-masyarakat., melainkan insan yang “the legend of change”.
[16]  Lebih lengkap, baca Disertasi KH Said Aqil, judul “Shilatullah fi al kaun inda tashawuf al falsafi”, Kang Said menjelaskan panjang lebar terkait zuhud secara spesifik, dengan eksplorasi yang kontekstual.
Share: