Oleh : Syarif Amien
Selepas sholat isya,
aku mendawamkan diri untuk menenggelamkan pikiran, memutholaah beberapa kitab,
sambil mendengarkan lantunan irama music Sujiwo tejo dari negeri jancukers.
Menjelang pukul 21:00, handphone berbunyi menandakan ada beberapa WA yang
masuk, ku pikir hanya obrolan suatu grup mengisi waktu kosong yang biasanya ku
hiraukan. Namun kini berbeda, ketika ku buka, ada simpangsiur kabar informasi
tentang berita duka. Aku kroscek ke beberapa teman-temanku, semuanya masih
ragu. Seakan tak percaya. Kembali aku mencari info via FB, biasanya memberikan
info up date, namun tetap sama, seakan masih tak percaya. Beberapa Kyai Muda
mengup date status tentang kepergiannya. Derai air mata tak kuasa ku bendung.
Guru kami, Panutan Kami, Suri tauladan Kami dan is everything, KH Nahduddin
Royandi Abbas bin KH Abbas Bin KH Abdul Jamil bin KH Muta’ad, kami biasa
memanggilnya Mbah Dien, Beliau menghadap Allah.
Informasi “kepulangan”
Beliau semakin deras menghujani handphoneku melalui WA, FB dan media sosial
lainnya. Hati semakin masyghul tak karuan, mood makin down secara drastic, lesu
badan dan jiwa ini menggenapi sedihku. Seorang kawan yang kebetulan sedang
berada di sampingku merasa heran melihatku menangis, lantaran biasanya
melihatku bercanda gurau penuh tawa ceria menghibur. Mbah Dien wafat di sebuah
rumah sakit di London, Inggris. Menurut kabar, sudah hampir dua minggu Mbah
Dien mendapatkan perawatan intensif dan mengalami masa kritis. Terhitung sejak
awal Bulan, ketika Pondok Buntet Pesantren mengadakan hajatan besar, Haul
Sesepuh dan warga Buntet, aku mendapatkan info bahwa Mbah Din tidak bisa Rawuh karena sedang sakit. Saat haul
pun, aku sudah sedihtidak bisa melihat Mbah Dien duduk di kursi VIP menemui dan
menemani beberapa tamu agung di acara Haul yang gegap gempita.
Sejak tahun 1958, Mbah
Dien sudah meniti karier di London, Inggris. Beliau pernah menimba ilmu di
Pesantren Lirboyo, saat itu, pengasuhnya masih dipegang oleh Mbah Yai Sepuh, KH
Abdul Karim atau akrab disapa Mbah Manab. Setelah itu, Mbah Dien
melanglangbuana mengaji kepada Musniddunia,
Syekh Yasin Bin Isa al Fadani, ulama asal Sumatera yang menjadi ulama besar di
tanah haram. Aku pernah diberi tahu, bahwa Mbah Dien adalah Guru Besar di
Oxford University, London, selain itu, Beliau adalah Dewan penasehat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mbah Dien menguasai 17 bahasa dunia.
Ringkasnya, Mbah Dien adalah asset dunia, Beliau tidak hanya kebanggan Buntet
Pesantren, tempat kelahirannya. Kisah ini aku dapatkan dari Guruku yang
merupakan keponakan Mbah Dien. Juga kisah yang menarik saat Gus Dur menjabat
sebagai Presiden, saat itu, Gus Dur menelpon Mbah Dien dan mengabarkannya
dengan bangga bahwa dirinya telah menjadi Presiden. “kyai, aku jadi Presiden!,
pulanglah” tutur Gus Dur, “buat apa aku pulang?!, udah enak disini kok Gus”
jawab Mbah Dien enteng, “kalau saya pulang, aku yang harusnya jadi Presiden,
kamu wakilnya Gus” Mbah mencandai Gus Dur, keduanya terkekeh akrab. “tapi Gus,
hati-hati ya, masa jabatanmu gak akan lama kok Gus” kurang lebih begitulah
prediksi Mbah Dien, dan ternyata terjadilah apa yang di lisankan oleh MBah Dien
kepada Gus Dur.
Keakraban Gus Dur dan
Mbah Dien tidak mengherankan lantaran kakak kandung Mbah Dien, yakni KH
Abdullah Abbas ( Ki Dullah ) adalah Guru Spiritual Gus Dur. Jika dirunut ke
atas lagi, keakraban Gus Dur dengan Mbah Dien dan Ki Dullah telah dimulai oleh
leluhurnya, saat Mbah Yai Abbas (Ayah Mbah Dien) nyantri di Tebu ireng, Jombang
asuhan Hadrotusyekh KH Hasyim Asy’ari
(kakek Gus Dur). Meskipun Mbah Yai Abbas tercatat sebagai santri pertamanya Hadrotusyekh KH Hasyim Asy’ari, tetapi
dalam perjalanan sejarahnya, hubungan keduanya lebih sebagai “partner” yang saling menghormati.
Terlebih ketika terjadinya perang besar 10 November yang teramat fenomenal nan
masyhur. Kini tokoh-tokoh tersebut telah menghadap Allah dengan tenang dan
meninggalkan kenangan, bagi kita, santrinya.
Gerimis di Subang tidak
begitu besar, namun dinginnya malam teramat menusuk, kopi dan rokok kini tak
lagi dapat ku rasakan, hampa. Beberapa teman-teman santri menghubungiku,
mengeluhkan betapa kaget dan duka yang teramat dalam mendengar kabar sedih ini.
Mbah Dien adalah pusaka kami. Seluruh alumni, santri, warga Buntet dan warga NU
sangat kehilangan Beliau. Mbah Dien sangat sederhana untuk kaliber Beliau
sebagai seorang ulama Besar, pemangku asuh Pondok besar, Buntet Pesantren.
Kerapkali aku memandangi Beliau saat sholat jumat –karena kami sebagai santri
hanya bisa melihat Beliau ketika sholat jumat- hanya mengenakan kemeja lengan
pendek dan peci hitam tanpa sorban, duduk tenang berderet dengan beberapa Kyai
Buntet lain yang mengenakan jubah putih, peci putih dan sorban hijau yang
notabene atribut Kyai. Mbah Dien berwajah teduh, putih bersih, sorot matanya
penuh kasih terhadap santri dan warga Buntet.
Pernah suatu ketika,
setelah sholat jumat, sudah menjadi kebiasaan bagi santri untuk bersalaman
dengan para Kyai yang duduk dibarisan belakang masjid, kami rela berbaris
mengantri hanya untuk mencium tangan harum para Kyai, termasuk Mbah Dien yang
kebetulan saat itu “rawuh” di Buntet.
Mbah Dien dengan penuh rasa tawadhu’, dengan sabar Beliau meladeninya, dan sedikit
enggan ketika para santri untuk mencium tangannya yang lembut, kerapkali Mbah
Dien menariknya. Saat kami sedang berbaris mengantri, satu persatu dari kami
menyalami dan mencium tangan Beliau, saat giliranku menyalami Mbah Dien, Mbah
Dien menatapku dan bertanya “kamu darimana, Cung?” Tanya Beliau padaku, aku
menjawab dengan penuh hormat “dari Subang, Kyai”, Beliau mengangguk gumam, aku
meraih tangan Beliau dan menciumnya, dan hanya aku yang Mbah Dien Tanya,
sungguh, dengan perasaan yang campur aduk, betapa senangnya, saya yang hanya
santri biasa mendapatkan “pertanyaa” yang mungkin hanya sekedar pertanyaan biasa,
namun bagiku bisa “bercakap” dengan Mbah Dien itulah yang membuatku mabuk
kepayang, senang tak karuan rasanya. Saat menuliskan ini, kerapkali layar
laptop membuyar, tertutup oleh airmata yang menggenang. Mbah Dien, kami sungguh
kehilangan…
Seringkali, ketika Mbah
Dien akan kembali ke London, Mbah Dien menyempatkan waktu untuk menemui Ibu
Nyai Ro’fah, Ibunda Guruku, KH Salman FZ. IBu Nyai Ro’fah adalah keponakan Mbah
Dien. Saat kunjungan tersebut, kami para santri hanya bisa mengintip dengan
penuh takdzim sosok yang kami kagumi, Mbah Dien.
Sekarang, siang ini,
pikiranku masih tak konsen bekerja. Sedih mendalam, kehilangan sang panutan,
kebanggaan Buntet, maestro Dunia. Syaikhuna Mbah yai Nahduddin Royandi Abbas
bin Mbah Yai Abbas bin Mbah Yai Abdul Jamil Bin Mbah Yai Muta’ad.
Untuk guru-guruku di
Buntet, al fatihah……
Subang-Buntet
25 april 2018
Khodam Kyai
Syarif Amien