Jumat, 12 Oktober 2018

Agony ber-Tuhan atau Agony ber-Agama ?!

Oleh : Syarif Amien

Manusia berfikir dan Tuhanpun tertawa
( Milen Kundera )

Pada mulanya adalah Sabda dan Sabda ada bersama Tuhan, dan Sabda adalah Tuhan.
Tapi kini kita menyaksikan, kekeliruan dunia dan kita harus memahami tanda-tandanya (signals), meskipun semuanya tampak kabur, seakan-akan melebur bersama kehendak buruk kejahatan
( Umberto Eco )

Dinamisasi pemikiran kini menjadi keniscayaan dalam menjalani kehidupan, terlebih dalam melaksanakan kehidupan beragama. Berhadapan dengan Agama berarti juga seakan berhadapan dengan keterbatasan, pembatasan, dan batasan itu sendiri. Ketika sebuah kajian keilmuan (agama) menjadi suatu hal yang a taken for granted maka kejumudan sedang menanti di depan mata. Permenungan dalam berfikir bukanlah sekedar mengisi waktu luang untuk menghasilkan sebuah alibi spekulatif, ia meminta resiko, taruhan, dan permasalahan. Dan hidup adalah masalah itu sendiri. Pengolahan akal yang mendominasi pada masa Islam klasik telah menghasilkan pluralitas intelektual yang dinamis dan progressif. Namun entah sunnatullah ataukah kelalaian penguasa menjadikan akal kembali ke ranah periferi dan inferiority. Representasi yang begitu kokoh dalam Agony berfikir terbingkai dalam sosok Nietzsche yang permenungannya menjadi Agony yang tak berujung hingga mengawali dengan pertanyaan dan di akhiri dengan pertanyaan kembali. Permenungan manusia seolah tereduksi hanya sebatas material belaka yang penuh dimensi artifisialitas. Kesadaran akan dinamitas perkembangan pemikiran (keagamaan) meniscayakan adanya progresivitas dalam hidup dan kehidupan beragama, meski tidak dapat dinegasikan perbedaan antara agama dan (pemikiran) keagamaan. Namun, sejauh menjauhkan dari kungkungan dogmatis, peran akal tak dapat di abaikan eksistensinya.

Gelincang bangkitnya potensialitas akal kini menjadi momok yang begitu menakutkan bagi klan yang menganggap agama telah berakhir dan sudah mapan. Polisi-polisi agama kian hadir dalam menbendung arus tumbuh kembangnya kekuatan akal yang sejatinya merupakan anugerah terindah Tuhan dalam membentuk dunia hidup yang berTuhan. Akal dalam konteks ini berperan sebagai medium imanen dalam menghadirkan kesadaran nilai dan makna keagamaan transcendental. Dan Tuhan sebagai ghayah al a’dzom dalam perjalanan panjang nan berkelok-kelok ini. Tuhan tidak bisa terlukiskan hanya dengan simbol-simbol belaka yang berdampak pada pendangkalan terhadap Tuhan itu sendiri.

Tuhan, dalam era sekarang tidak jarang tereduksi menjadi tuhan-tuhan kecil artificial yang terlukiskan dalam beberapa symbol yang berupaya untuk menghadirkan (presentation). Hal ini jelas terlihat dalam beberapa eksponen seperti sajadah, tasbih, baju koko, peci, -bahkan- bendera dengan iringan dentuman takbir yang menggema. Kekuatan dari simbolitas tersebut tidak dapat dibuktikan substansinya meskipun menimbulkan efek kesadaran pada individu hingga menimbulkan daya pikat, pesona, bahkan daya sihir yang hadir namun pada dasarnya kesadaran individu pada daya tersebut bersifat palsu (false consciousnees). Sekali lagi karena Tuhan berada pada batas di luar tak teragukan lagi.

AGAMA, TUHAN DAN FETISISME
Agama serta aktivitas manusia didalamnya tidak dapat dipisahkan dengan dunia objek sebagai medium, melalui objek itulah, kontruksi ihwal ketuhanan, kesucian dan spiritualitas menjadi kokoh. Imajinasi keagamaan di manifestasikan melalui citra yang ditampilkan dan makna yang dihasilkan oleh objek-objek tersebut. Objek buatan manusia dalam konteks tertentu berfungsi sebagai kendaraan (vehicle) imanen dalam menghadirkan kesadaran nilai atau makna keagamaan transendental. Objek pada konteks itu  hanya berfungsi sebagai cara mediasi spiritual. Objek-objek itu tidak hanya melegitimasi komunikasi dan interaksi dengan yang transenden,  tetapi mengukuhkan kehadiran yang transenden secara simbolis. Dalam konteks yang lain, objek-objek tersebut tidak hanya berperan sebagai mediasi, melainkan beralih fungsi menjadi menghadirkan (to presentation). Dan peralihan tersebut menjadikannya sebagai objek fetis (fetish object).

Fetis, berasal dari bahasa portugis, feitico dan dari bahasa latin, factitius, yang bermakna artifisial atau buatan. Pengertian awalnya adalah meniru melalui tanda. Terminologi tersebut juga merujuk kepada makna daya pikat, pesona dan kekuatan. Louise J Kaplan mendefinisikan fetisisme sebagai “ keyakinan dan penggunaan fetis-fetis magic, objek natural atau objek buatan yang diyakini memiliki kekuatan melindungi pemiliknya. Hal itu disebabkan muatan spirit yang dikandung dalam objek tersebut”. Sigmund Freud mereduksi makna Fetisisme menjadi semacam sebuah kecenderungan seksual. Segala bentuk objek natural atau buatan yang digunakan  untuk menghasilkan kepuasan seksual disebut objek fetis. Kekuatan, daya pesona dan daya pikat direduksi oleh Freus sehingga semuanya bermuara pada kepuasan seksual.

Fetisisme dapat dipandang sebagai cara menggunakan tanda untuk menghasilkan efek-efek tertentu. Dengan demikian, fetisisme dapayt dipandang sebagai sebuah fenomena semiotik atau fenomena pertandaan, yaitu penggunaan tanda-tanda tertentu pada objek-objek kultural yang seakan-akan merepresentasikan atau bahkan menghadirkan sebuah kekuatan tertentu, meskipun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, karena kekuatan yang dihassilkan fetisisme kontras dengan ilmu pengetahuan maka kesadaran yang disodorkannya bersifat palsu (false consciousness).
Fetisisme berkembang hampir disemua agama. Studi Annemarie Schimel tentang makna kesucian dalam agama-agama melukiskan secara komprehensif akan fenomena fetisisme dlam kehidupan beragama. Fetisisme dalam agama berkaitan dengan objek natural atau buatan –tasbih, misalnya- karena dianggap memiliki kekuatan, daya pesona dan daya pikat., bahkan terjadi dalam teks-teks suci.

TAUHID, MENEGASKAN TUHAN SEBAGAI EKSISTENSI MUTLAK
Bertuhan sekaligus bergama serta menjalankan ritualnya tidak mengasikan eksistensi manusia sebagai wujud real, melainkan sebagai peleburan sifat naasut lalu penyatuan dengan sifat laaahut –meminjam istilah Ibnu Khaldun- . ibadah adalah bukti konkrit kemanusian secara manusiawi. Sebuah kisah Nabi Musa As yang menginginkan pertemuan dengan Tuhan, lalu Tuhan berfirman “lepaskan dua sandalmu”, firman Tuhan tersebut menjadi “Dalalah” untuk tidak terjebak pada fetisisme.
Kalimat Tauhid adalah statement ikrar setia untuk tidak menghambakan diri kepada selain Tuhan yang maha Haq. Karena sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Al Qusyaeri dalam kitabnya “wakullu maa tashowwaro fii khoyaalika fa Allahu bikhilafi dzalik”, segala hal yang engkau imajinasikan serta engkau citrakan maka sejatinya Tuhan tidak seperti itu. Tabik !




Subang, kliwon Jumat, 11-oct-2019, menjelang hari santri


                                                  Syarif Amien.

Share:

1 komentar:

  1. Ajiiiiiib ... 👍
    walaupun baca nya sambil liat terjemahan ... 👍👍👍👍👍

    BalasHapus